Pokja REDD+ Kalbar Diminta Narasumber Kegiatan BUPSHA
Pontianak. Eksistensi lembaga adhock, Kelompok
Kerja (Pokja) REDD+ Kalbar semakin diperhitungkan. Pada kegiatan Penilaian
Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi REDD+
serta Desiminasi Sertifikat Penurunan Emisi Indonesia (Indonesia Certified
Emission Reduction) di Hotel Harris Pontianak, 7-8 Agustus 2019, Pokja REDD+
Kalbar diminta untuk menjadi salah satu narasumber utama.
Permohonan narasumber itu disampaikan langsung
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hukum Adat Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI melalui surat nomor S.294/BUPSHA/PEHRHA/PCL.2/8/2019
tanggal 1 Agustus 2019. Tidak hanya Pokja REDD+ Kalbar jadi narasumber, ada
tiga lembaga lain juga. Ketiganya adalah Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca,
Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi, Kepala Pusat Litbang Sosial Ekonomi
Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI), dan Ketua Pokja Pokja MRV Kapuas Hulu.
Latar belakang kegiatan ini, Kalimantan Barat
merupakan salah satu dari lima provinsi teratas di Indonesia yang berkontribusi
terhadap emisi GRK, dengan rata-rata deforestasi tahunan sebesar 132.500 ha.
Penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan adalah: (i) penebangan
komersial; (ii) alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian; (iii)
pertambangan (terutama batubara dan emas); dan (iv) kebakaran yang tidak
terkendali. Penyebab yang mendasari meliputi: (i) perencanaan tata ruang yang
tidak konsisten dan tidak memadai (sebagai akibat dari terbatasnya data yang akurat
untuk menginformasikan rencana tata ruang wilayah), (ii) hak penggunaan lahan
dan konflik yang tidak jelas, dan (iii) tata kelola yang lemah (termasuk
perencanaan pembangunan wilayah yang tidak terkoordinasi, perizinan yang
tumpang tindih di kawasan hutan, kapasitas perencanaan tata ruang yang lemah, terbatasnya
pengawasan pengelolaan hutan di tingkat lokal, peraturan dan hukum yang
bertentangan, insentif fiskal yang tidak rasional, penegakan hukum yang tidak
memadai, serta kurangnya proses yang inklusif dan partisipatif).
Community-Focused Investments to Address
Deforestation and Forest Degradation (FIP- 1) merupakan bagian dari rencana
investasi kehutanan Indonesia berbasis masyarakat untuk
mengurangi degradasi hutan dan deforestasi di
Indonesia. FIP-1 didukung oleh Program
Investasi Kehutanan (“Forest Investment Program”)
atau FIP yang dikelola oleh World Bank dan
International Finance Corporation (IFC). Program
ini akan berinvestasi pada kegiatan-kegiatan
REDD+ berbasis masyarakat (misalnya perencanaan
penggunaan lahan berbasis masyarakat, pemantauan hutan berbasis masyarakat dan
masyarakat peduli api, regenerasi dan pemeliharaan hutan berbasis masyarakat,
dan ekowisata berbasis masyarakat) di empat
kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di dua kabupaten
(Kapuas Hulu dan Sintang) di provinsi
Kalimantan Barat.
Terdapat 17 desa target (12 desa di Kapuas Hulu
dan 5 desa di Sintang). Tiga Output utama yang akan dicapai dalam FIP-1 adalah:
Output 1 (Community-focused and gender responsive REDD+ pilots in Kapuas Hulu
and Sintang districts implemented), Output 2 (Provincial REDD+ Strategy in West
Kalimantan effectively implemented), dan Output 3 (Sub- national Fiscal
Policies on REDD+ Harmonized with National Policies). Pelaksanaan kegiatan FIP-1
ini sangat erat kaitannya dengan REDD+. REDD+ merupakan langkah-langkah yang
didesain untuk menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi GRK dari
deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ tidak hanya mencakup pengurangan gas
rumah kaca tetapi juga melibatkan peran dari konservasi, peningkatan stok hutan
karbon, dan manajemen hutan yang berkepanjangan. Penerapan REDD+ melibatkan
para pemangku kepentingan dimana aspirasi masyarakat tradisional dan penduduk
asli dapat dijadikan pertimbangan untuk memastikan terjaminnya hak mereka untuk
tinggal atau memanfaatkan hutan. Model Strategi REDD+ harus menyertakan pedoman
kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi. Pelaksanaan kegiatan MRV
merupakan suatu bentuk implementansi dari konsep Transparency, Accuracy,
Consistency, Completeness dan Comparability (TACC-C) dalam hal penanganan
isu-isu perubahan iklim. MRV ini diperlukan untuk menjamin bahwa kegiatan
perubahan iklim akan terukur, terlaporkan dan terverifikasi. Untuk mengukur
keberhasilan kinerja dalam kegiatan REDD+, sistem MRV perlu dilakukan dan menjadi
bagian penting dalam implementasi kegiatan REDD+, terutama untuk mendapatkan pembayaran
berbasis hasil (Result Based Payment - RBP).
Indonesia, melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) telah mengatur mengenai kegiatan MRV ini melalui Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.72/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengukuran,
Pelaporan dan Verifikasi Aksi dan Sumberdaya Pengendalian Perubahan Iklim.
Selain itu KLHK melalui Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring,
Pelaporan dan Verifikasi juga mengeluarkan Pedoman Pengukuran, Pelaporan dan
Verifikasi untuk REDD+ di Indonesia. Di dalam
peraturan dan pedoman tersebut tertuang
mengenai sistem MRV yang ada di Indonesia dan juga
petunjuk teknis atas pelaksanaannya.
Selain itu, dalam mengurangi laju perubahan iklim
dan dampaknya terhadap kehidupan
manusia, dianjurkan melakukan upaya mitigasi
perubahan iklim dengan caram engurangi emisi
gas rumah kaca dari kegiatan-kegiatannya. Dalam
koridor pembangunan rendah karbon, mitigasi perubahan iklim adalah juga
kegiatan pembangunan bukan semata kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Dalam prakteknya, seringkali dihadapi kendala karena kegiatan pembangunan
rendah karbon umumnya tidak rendah sumber daya apalagi rendah biaya. Berkaitan
dengan pendanaan mitigasi perubahan iklim, mekanisme penerbitan dan penggunaan
Sertifikat Penurunan Emisi Indonesia (Indonesia Certified Emission Reduction) dikembangkan
sebagai bentuk apresiasi yang dapat memfasilitasi insentif bagi aksi mitigasi.
Keberadaan mekanisme ini diharapkan dapat
mendorong tumbuhnya pasar karbon di Indonesia di mana pembeli sertifikat
penurunan emisi akan membantu membiayai aksi mitigasi di Indonesia. Mekanisme
ini dikembangkan dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman Indonesia dalam
mengikuti mekanisme sejenis seperti Clean Development Mechanism dan Joint
Crediting Mechanism. Pengembangan mekanisme ini banyak mengambil pembelajaran dari
pengembangan Skema Karbon Nusantara oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim pada tahun
2014. Perlu dilakukan diseminasi dan pengarusutamaan perihal Sertifikat
Penurunan Emisi Indonesia (Indonesia Certified Emission Reduction) agar
nantinya upaya pembangunan
rendah karbon dapat berhasil Dengan mengacu kepada Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.72/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 dan Pedoman Pengukuran, Pelaporan dan
Verifikasi untuk REDD+ di Indonesia, maka kegiatan Workshop/FGD Penilaian Kapasitas
dan Penguatan Kelembagaan MRV ini diharapkan dapat memberikan gambaran jelas
mengenai sistem MRV di Indonesia dan pengarusutamaan adanya Sertifikat
Penurunan Emisi Indonesia (Indonesia Certified Emission Reduction) untuk para
pemangku kepentingan di dalam sistem ini.
0 Response to "Pokja REDD+ Kalbar Diminta Narasumber Kegiatan BUPSHA"
Posting Komentar